Minggu, 17 Mei 2009

PERJANJIAN BERNAMA

1. PERJANJIAN JUAL BELI

A. Dasar Hukum dan Pengertiannya

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam KUH. Perdata maupun KUH. Dagang.

Jual beli diatur dalam Buku III Bab V Pasal 1457-1540 KUH. Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH. Perdata menyebutkan bahwa jual beli adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.


Munir Fuady mengartikan jual beli adalah suatu kontrak dimana 1
(satu) pihak, yakni yang disebut dengan pihak penjual, mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak lainnya, yang disebut dengan pihak pembeli, mengikatkan dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama (Munir Fuady, 25 : 2005)


B. Subyek dan Obyek Jual Beli

Dari definisi tersebut khususnya dari perkataan ”pihak yang satu mengikatkan dirinya menyerahkan suatu kebendaan”, sedangkan
”perkataan lain pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Subyek dalam jual beli adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian, yaitu pihak penjual (pihak yang menyerahkan) dan pihak pembeli (pihak yang membayar).

Sedangkan obyek dalam jual beli adalah benda dan harga. Benda adalah harta kekayaan baik bergerak, tidak bergerak, berwujud ataupun tidak berwujud. Harga adalah sejumlah uang senilai dari harga benda tersebut.


C. Saat terjadinya Jual Beli

Pasal 1458 KUH. Perdata menyebutkan bahwa ”Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”

Unsur-unsur pokok atau essensalia dari perjanjian jual beli adalah harga dan barang. Perjanjian jual beli sudah terjadi dengan adanya kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme dalam hukum perjanjian.

Jadi semenjak terjadinya kata sepakat tentang harga dan barang, maka pada detik itulah perjanjian tersebut sah. Akan tetapi dengan telah terjadinya jual beli belum menyebabkan beralihnya hak milik. Hak milik beralih setelah adanya penyerahan (levering) sebagai penyerahan hak secara hukum yang bentuk penyerahannya tergantung dari barangnya.


D. Kewajiban dan Hak Para Pihak

1. Kewajiban Penjual
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
a.1. Penyerahan barang bergerak.
Diatur dalam Pasal 612 KUH. Perdata menyebutkan penyerahan yang nyata akan kebendaan atau penyerahan kunci-kunci dari bangunan. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak orang lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.

a.2. Penyerahan barang tak bergerak
Diatur dalam Pasal 616 - 620 KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.

a.3. Penyerahan piutang atas nama dan hak lainnya
Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan (cessi) yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya.

Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang

karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

b. Menjamin kenikmatan tentram dan tidak adanya cacad tersembunyi. Artinya bahwa adanya jaminan dari penjual ke pembeli bahwa :
b.1. barang yang dijual benar-benar miliknya dan dia mempunyai wewenang untuk menjualnya.
b.2. Barang yang dijual tidak dalam keadaan sengketa bebas dari beban atau tuntutan dari pihak manapun.

Apabila ketentuan ini tidak benar menurut Pasal 1496 KUH. Perdata, pembeli dapat menuntut kembali kepada penjual hal – hal sebagai berikut :
a. Pengembalian uang harga pembelian.
b. Pengembalian hasil-hasil apabila pembeli diwajibkan oleh pengadilan untuk menyerahkan hasil-hasil itu kepada penggugat/pihak ketiga.
c. Biaya pengadilan untuk menurut seratakan penjual dalam perkara gugatan pihak ketiga dan biaya perkara sebagai pihak yang kalah.
d. Penggantian biaya, kerugian dan bunga serta biaya pembelian dan penyerahan sepanjang biaya-biaya itu dikeluarkan oleh pembeli.

Cacad tersembunyi diatur dalam Pasal 1504 KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa ”si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya sipembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.”


Artinya :
1. Si penjual berkewajiban menanggung cacat tersembunyi terhadap barang yang dijualnya yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai atau mengurangi pemakaian, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat tersebut ia sama sekali tidak akan membelinya atau membeli dengan harga yang berkurang.
2. Si penjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan dan si pembeli dianggap telah mengetahui kondisi dan menerima apa adanya barang tersebut.
3. Si penjual tetap menanggung cacat tersembunyi meskipun dia tidak mengetahui adanya cacad itu, kecuali diperjanjikan sebelumnya bahwa penjual tidak berkewajiban menanggung cacad tersembunyi tersebut.

Tuntutan dari si pembeli adalah
1. Penjual diwajibkan untuk mengembalikan harga pembelian.
2. Penjual mengganti semua kerugian yang diderita oleh pembeli.

2. Kewajiban Pembeli
a. Membayar harga barang yang dibeli pada waktu dan tempat yang diperjanjikan (Pasal 1513 KUH. Perdata). Apabila tempat pembayaran tidak ditentukan dalam perjanjian, maka pembayaran dilakukan ditempat dan pada saat penyerahan barang (Pasal 1517
KUH. Perdata).
b. Membayar bunga dari harga pembelian biamana barang yang dibelinya dan sudah diserahkan kepadanya akan tetapi belum dibayar olehnya, memberi hasil atau pendapatan lainnya, walaupun tidak ada ketentuan mengenai hal itu dalam perjanjian jual beli (Pasal 1515 KUH. Perdata).
c. Melaksanakan pengambilan barang atas biaya sendiri apabila tidak diatur cara lain dalam perjanjian jual beli (pasal 1476 KUH. Perdata).


3. Hak Penjual
a. Hak atas harga barang yang dijualnya.
b. Hak reklame adalah hak penjual barang bergerak yang dijual secara tunai untuk menuntut kembali barangnya yang belum dibayar oleh pembeli dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penyerahannya (Pasal 1145 KUH. Perdata)
c. Hak untuk menyatakan batal demi hukum berdasarkan pasal 1518
KUH. Perdata perjanjian jual beli barang dagangan dan barang perabot rumah yang tidak diambil oleh pembeli dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu kepada pihak pembeli.

4. Hak Pembeli
a. Jaminan dari penjual mengenai kenikmatan tentram dan tidak adanya cacat tersembunyi.
b. Hak untuk menunda pembayaran harga barang dalam hal pembeli diganggu dalam menikmati barang yang dibelinya oleh tuntutan hukum (pasal 1516 KUH. Perdata).


E. Risiko dalam Perjanjian Jual Beli

Dalam KUH. Perdata pengaturan risiko dalam jual beli terdapat 3
pasal yang mengaturnya, yaitu :

1. Pasal 1460 KUH Perdata mengenai benda bergerak tertentu.
Jika benda yang dijual itu berupa benda tertentu (benda sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli), maka sejak saat pembelian benda tersebut menjadi tanggung jawab pembeli meskipun penyerahan belum dilakukan. Penjual berhak menuntut harganya. Risiko ada pada pembeli dan pembeli wajib membayar harganya.

2. Pasal 1461 KUH Perdata mengenai benda bergerak yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran.
Risiko atas benda yang sudah ditimbang, dihitung, atau diukur terpisah benda tersebut dari benda milik penjual menjadi tanggungan pembeli walaupun belum diserahkan.

3. Pasal 1462 KUH Perdata mengenai benda bergerak yang dijual menurut tumpukan.
Risiko atas benda yang sudah ditumpuk menjadi tanggungan pembeli meskipun belum diserahkan.


F. Berakhirnya Jual Beli

Secara normal jual beli berakhir setelah penjual dan pembeli memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan kesepakatan mereka. Sedangkan secara tidak normal ada beberapa hal yang mengakibatkan perjanjian jual beli berakhir, antara lain :
1. karena wanprestasi berdasarkan putusan hakim.
2. karena pembeli jatuh pailit berdasarkan putusan hakim.
3. karena pembeli meninggal dunia.




2. PERJANJIAN SEWA MENYEWA

A. Dasar Hukum dan Pengertiannya

Sewa menyewa diatur dalam Buku III Bab VII Pasal 1548 – 1600
KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Dari definisi sewa menyewa jelaslah bahwa penyerahan bukanlah kepemilikan dari barang yang disewa melainkan hanya memberikan kenikmatan kepada penyewa.

B. Subyek dan Obyek Sewa Menyewa

Pihak-pihak dalam sewa menyewa adalah pihak penyewa dan pihak yang menyewakan. Pihak penyewa merupakan pihak yang membayar uang sewa sedangkan pihak yang menyewakan adalah pihak pemilik yang menyerahkan kenikmatan atas barang.

Sedangkan obyek dari sewa menyewa yang menjadi unsur sewa adalah harga, barang dan waktu sewa.


C. Saat terjadinya Sewa Menyewa

Sama seperti jual beli, pada sewa menyewa juga menganut asas konsensual artinya pada detik terjadinya kata sepakat maka perjanjian sewa menyewa tersebut sudah sah dan mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya.


D. Kewajiban dan Hak Para Pihak

1. Kewajiban Pihak Yang Menyewakan
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa.
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
c. memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.


2. Kewajiban Pihak Penyewa
a. Memakai barang yang disewa sebagai seorang ”bapak rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang dibrikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya.
b. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.
c. Mengembalikan barang sewaan dengan kondisi sesuai dengan kesepakatan.

3. Hak Pihak Yang Menyewakan
Menerima uang sewa pada waktu sebagaimana yang diperjanjikan.

4. Hak Pihak Penyewa
a. Penyerahan barang dalam keadaan terpelihara sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan yang dipergunakan.
b. Jaminan dari yang menyewakan mengenaik kenikmatan tenteram dan tidak adanya cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewanya.


E. Mengulang sewakan

Pasal 1559 KUH. Perdata menyebutkan si penyewa jika kepadanya tidak telah diijinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewanya, maupun melepas sewanya kepada orang lain atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan itu tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.

Dari pengertian dalam undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Penyewa tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewa.
2. Penyewa tidak diperbolehkan melepaskan sewanya kepada orang lain.





Ada perbedaan antara mengulang sewakan dengan melepas sewa, yaitu :
1. Dalam hal mengulang sewakan, penyewa barang bertindak sendiri sebagai pihak dalam perjanjian sewa menyewa kedua yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga.
2. Dalam hal melepas sewanya, penyewa mengundurkan diri dari penyewa, sehingga pihak ketiga langsung berhadapan dengan pihak yang menyewakan.

Apabila penyewa berbuat sebagaimana yang dilarang, maka yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian sewa disertai dengan pembayaran kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan setelah dilakukan pembatalan tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa dengan orang ketiga tersebut (R. Subekti, 46 : 1985).

Pasal 1559 KUH. Perdata menyebutkan bahwa penyewa diperbolehkan menyewa rumah yang menjadi tempat tinggalnya sebagian kepada orang lain, kecuali kekuasaan tersebut telah dilarang dalam perjanjian sewa menyewa.


F. Jual Beli tidak mengakhiri Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa tidak berakhir dengan dijualnya barang yang disewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya (pasal 1576 KUH. Perdata). Subekti menyebutkan bahwa undang-undang bermaksud melindungi si penyewa terhadap si pemilik baru, apabila barang yang sedang disewa itu dipindahkan kelain tangan (R. Subekti, 48 : 1985)

Demikian pula apabila pemilik atau yang menyewakan menghibahkan barang yang menjadi obyek sewa kepada seseorang, maka penghibahan juga tidak mengakhiri sewa menyewa. Artinya penerima hibah harus menunggu sampai dengan masa sewa berakhir.

Pasal 1579 KUH. Perdata juga melindungi penyewa dari maksud yang menyewakan untuk memakai barang yang disewakan.


G. Risiko dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban menanggung kerugian jika terjadi keadaan memaksa (overmacht).

Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553
KUH. Perdata yang membagi atas 2 kriteria, yaitu :
1. Apabila barang yang disewa musnah secara keseluruhan, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Maksudnya risiko ada pada pihak yang menyewakan sebagai pemilik benda yang telah musnah.
2. Apabila barang yang disewa musnah sebagian, maka penyewa dapat memilih :
a. pembatalan perjanjian sewa menyewa
b. berlangsungnya terus perjanjian dengan pengurangan uang sewa tanpa hak atas ganti rugi.
Atas pilihan ini penyewa tidak dapat menuntut ganti rugi.


H. Berakhirnya Sewa Menyewa

Sewa menyewa dapat berakhir baik secara normal maupun secara tidak normal. Berakhir secara normal artinya sewa menyewa itu telah terpenuhi sebagaimana mestinya sesuai dengan waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan secara tidak formal berakhirnya karena terdapat faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

Ada beberapa sebab berakhirnya perjanjian sewa menyewa, yaitu
(Abdulkadir Muhammad, 98 : 1992) :
1. jangka waktu sewa berakhir.
2. benda sewaan musnah.
3. pembatalan sewa menyewa.
a. benda sewaan musnah sebagian dan penyewa memilih alternatif pembatalan sewa menyewa (Pasal 1553 ayat 2 KUH. Perdata)


b. karena perbaikan benda sewaan sedemikian rupa, sehingga tidak dapat didiami, penyewa meminta agar sewa menyewa dibatalkan saja (Pasal 1555 ayat 3 KUH. Perdata)
c. karena benda sewaan dijual, sewa menyewa dibatalkan berdasarkan syarat perjanjian (Pasal 1576 KUH. Perdata)
d. Karena benda sewaan akan dipakai sendiri, maka sewa menyewa dibatalkan berdasarkan syarat perjanjian (pasal 1579 KUH. Perdata).


Dosen: TUNGGUL LEONARD TOBING, S.H.

Perjanjian (Hukum Bisnis)

1. PERIKATAN

A. Pengertian Perikatan

Hukum perikatan diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang.

Menurut Pitlo perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.

(R. Setiawan, 2 : 1977).


Sedangkan menurut Subekti, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. (Subekti, 1 : 1987)

B. Subyek dan Obyek Perikatan

Subyek perikatan adalah pihak kreditur, yaitu pihak yang berhak menuntut atas suatu prestasi dan pihak debitur, yaitu pihak yang berkewajiban menuntut atas suatu prestasi.

Sedangkan obyek dari perikatan adalah prestasi. Prestasi antara lain berupa :

1. Memberi sesuatu

2. Berbuat sesuatu

3. Tidak berbuat sesuatu

C. Hubungan Perikatan dengan Perjanjian

Undang-undang dan perjanjian adalah sumber perikatan. Perikatan merupakan isi dari perjanjian. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber lainnya.

2. PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Menurut Subekti yang dimaksud dangan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.


Atau dapat disebut juga bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamankan perikatan.

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam KUH. Perdata

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap orang bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan dan kesusilaan.

Pasal 1338 KUH. Perdata berbunyi Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Dari asas ini dikenal timbul perjanjian bernama (perjanjian yang namanya dan ketentuannya telah diatur oleh KUH. Perdata, seperti jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya) dan perjanjian tidak bernama

(perjanjian yang timbul dalam dunia bisnis yang belum diatur dalam

KUH Perdata, seperti sewa beli, leasing).

b. Asas Pacta sunt servanda

Artinya suatu kontak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum atau menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

c. Hukum Kontrak bersifat hukum mengatur

Artinya hukum tentang kontrak tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengatur lain, kecuali undang-undang menentukan lain.


C. Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkanbahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal;

Sepakat yang mengikatkan dirinya mengandung pengertian :

1. Subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju, seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan.

2. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik (Subekti,

41 : 1987)

Sebagai pertimbangan adanya unsur kecakapan adalah bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian akan terikat akan isi perjanjian dan menimbulkan akibat hukum.

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah:

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Khusus ketentuan yang membatasi hak-hak dari perempuan yang bersuami tidak berlaku lagi berdasarkan Surat Edaran MA No. 3/1983.


Suatu hal tertentu artinya yang menjadi objek perjanjian harus ditentukan jenisnya, agar memudahkan dalam menetapkan hak dan kewajiban jika timbul perselisihan. Pasal 1332 KUH Perdata menyebutkan bahwa barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan.

Syarat sebab yang halal maksudnya bahwa isi perjanjian itu sendiri tidak boleh bertentangan dangan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, yaitu syarat sepakat dan kecakapan yang dikenal dengan syarat subjektif, maka perjanjian ini dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat meminta kepada hakim agar perjanjian tersebut dibatalkan.

Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat hal tertentu dan sebab yang halal yang dikenal dengan syarat syarat objektif, maka akan berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

D. Unsur- Unsur Suatu Perjanjian

Apabila diperhatikan dalam isi perjanjian, maka dapat ditemukan unsur- unsur perjanjian. Unsur-unsur tersebut adalah unsur esensialia, naturalia dan aksidentalia.

Asser membedakan bagian perjanjian yang bagian inti dan bagian bukan inti. Bagian inti termasuk esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia.

1. Esensalia adalah bagian yang menurut sifatnya harus ada di dalam perjanjian, yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta.


Jadi unsur yang sangat penting dalam perjanjian dan tanpa unsur tersebut tidak mungkin ada. Misalnya kesepakatan, para pihak, objek perjanjian.

2. Naturalia merupakan sifat bawaan perjanjian sehingga secara diam- diam melekat pada perjanjian. Bagian dalam undang-undang ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur. Contoh jaminan dari penjual bahwa barang tersebut bebas dari cacad tersembunyi.

3. Aksidentalia, yaitu sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Atau bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan dalam perjanjian dimana undang-undang tidak mengaturnya seperti upaya hukum dalam menyelesaikan perselisihan dan domisili para pihak, jual beli beserta isi perabotnya.

E. Wanprestasi

Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa obyek perikatan adalah prestasi. Jika debitur tidak melaksakan prestasinya yang bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap lalai atau wanprestasi.

Ada 3 bentuk ingkar janji :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Terlambat memenuhi prestasi.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

Tindakan wanprestasi terjadi karena (Munir, 88 :1999)

1. Kelalalaian

2. Kesengajaan

3. tanpa kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)

Apabila terjadi wanprestasi maka kreditur dapat menuntut :


1. Pemenuhan perikatan.

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi

3. Ganti rugi

4. Pembatalan perjanjian

5. Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.

Tuntutan ganti rugi dapat berupa penggantian :

1. Biaya

2. Rugi

3. Bunga

F. Pembelaan Debitur yang dituduh lalai

Ada 3 macam pembelaan debitur yang dituduh lalai, antara lain :

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa.

b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus)

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menunut ganti rugi (rechtsverwerking)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi bukan karena kesalahannya diwajibkan membayar ganti rugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajibannya membayar ganti rugi jika dalam keadaan memaksa.

Dalam keadaan memaksa akibatnya :

1. kreditur tidak lagi memenuhi prestasi.

2. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak diwajibkan membayar ganti rugi.

3. risiko tidak beralih kepada debitur.

4. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal bali.


3. HAPUSNYA PERIKATAN

Hapusnya perikatan baik yang timbul dari perjanjian dan undang- undang diatur dalam Pasal 1381 KUH. Perdata yaitu :

a. Pembayaran

b. Penawaran pembayaran diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

c. Pembaharuan hutang

d. Perjumpaan hutang

e. Percampuran hutang

f. Pembebasan hutang.

g. Musnahnya barang yang terutang

h. Kebatalan dan pembatalan perikatan

i. Berlakunya suatu syarat batal

j. Lewat waktu.